Memasuki kuartal III-2020 beberapa negara melakukan pelonggaran lockdown dan mulai membuka kembali ekonomi. Bagaimana dampaknya terhadap ekonomi? Apakah masih ada risiko second wave?
Pelonggaran lockdown yang dilakukan di berbagai negara mulai memberikan dampak positif terhadap ekonomi, terlihat dari adanya perbaikan aktivitas manufaktur, penjualan ritel, dan juga data ketenagakerjaan di berbagai negara. Tentunya ini merupakan sinyal positif yang memberikan optimisme bahwa ekonomi global dapat bertahap pulih, sejalan dengan ekspektasi pasar dan berbagai lembaga internasional yang memproyeksikan bahwa ekonomi dapat membaik secara gradual di semester II-2020 dan di 2021 apabila Covid-19 dapat ditangani dan ekonomi dapat kembali dibuka.
Di sisi lain risiko wabah second wave masih harus diperhatikan. Peningkatan kembali kasus Covid-19, jika terjadi, berisiko untuk menghentikan proses pembukaan ekonomi yang dapat berimbas negatif pada pemulihan ekonomi. OECD memperkirakan bahwa wabah second wave dapat mempengaruhi potensi pemulihan ekonomi di 2021. Sebagai gambaran, OECD memproyeksikan ekonomi Amerika Serikat dapat tumbuh 4.1% di 2021 dengan skenario tidak ada second wave. Namun apabila terjadi second wave, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat diperkirakan hanya tumbuh sekitar 1.9% di 2021.
Walau demikian tidak mustahil untuk melakukan pembukaan ekonomi dengan tetap mewaspadai penyebaran Covid-19. Negara di kawasan Asia Utara seperti China, Korea Selatan, Taiwan, dan juga kawasan Uni Eropa sukses melakukan pelonggaran lockdown dan menjaga tingkat kasus Covid-19 tetap rendah, sehingga pemulihan ekonomi dapat terjadi dalam fase ‘new normal’. Oleh karena itu kedisiplinan masyarakat dalam melakukan usaha pencegahan Covid-19 dan kapabilitas pemerintah untuk melakukan 3T (Test, Track, Treat) menjadi kunci untuk suksesnya transisi ke periode ‘new normal’.
Bagaimana dengan Indonesia, apa pandangan anda mengenai potensi pemulihan ekonomi Indonesia?
Kuartal III-2020 ini adalah fase transisi dari periode PSBB menuju new normal di mana PSBB akan mulai dilonggarkan dan ekonomi secara gradual dibuka kembali dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Dari sisi ekonomi, ini merupakan hal yang positif karena pelonggaran PSBB dapat mendukung aktivitas ekonomi. Seperti yang sudah terjadi di negara-negara lain, pada fase ini diharapakan mulai terjadi perbaikan data ekonomi seperti peningkatan aktivitas sektor manufaktur, penjualan ritel, dan penyerapan tenaga kerja. Perbaikan ini tentunya tidak lepas dari stimulus yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti yang dilakukan di Amerika Serikat dan di Eropa. Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan anggaran untuk stimulus Covid-19 yang mencapai IDR695 triliun, di mana alokasi anggaran terbesar senilai IDR203 triliun dialokasikan untuk bantuan sosial. Kami memandang mayoritas dari anggaran ini baru akan didistribusikan di semester II-2020, hal ini dapat mendukung daya beli masyarakat dan proses pemulihan ekonomi pada paruh kedua tahun ini.
Di sisi lain, peningkatan kasus Covid-19 manjadi faktor risiko utama yang harus diperhatikan. Seperti yang disampaikan sebelumnya, adanya second wave dapat mempengaruhi proses pemulihan ekonomi. Hal ini merupakan faktor yang sangat sulit untuk diproyeksi karena sangat bergantung pada perilaku masyarakat dan kapabilitas pemerintah. Oleh karena itu dalam masa transisi di kuartal III ini kami memandang ekonomi berpotensi mulai menunjukkan sinyal perbaikan walaupun secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi masih relatif lemah. Kondisi ini akan diimbangi oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat di kuartal IV-2020 dan ke depannya setelah Indonesia melewati periode transisi dan sudah beradaptasi pada kondisi new normal. Pemerintah mengeluarkan stimulus besar untuk mendukung ekonomi, tentunya ini akan meningkatkan utang pemerintah.
Bagaimana komentar anda mengenai kenaikan tingkat utang Indonesia?
Wabah Covid-19 adalah suatu kejadian luar biasa belum pernah terjadi sebelumnya dan memberikan dampak sangat besar terhadap perekonomian karena harus melakukan lockdown. IMF mengatakan krisis ekonomi yang disebabkan oleh Covid-19 berpotensi menjadi krisis ekonomi terburuk sejak tahun 1930. Oleh karena itu tidak hanya Indonesia saja, berbagai negara mengeluarkan stimulus fiskal terbesarnya dalam sejarah untuk memberikan bantalan sekaligus dorongan bagi ekonomi. Harapan dari pemberian stimulus adalah agar aktivitas ekonomi bisa meningkat - baik dari sisi konsumsi maupun produksi - sehingga pendapatan negara juga meningkat dan beban utang secara gradual juga dapat turun. Membengkaknya stimulus memang akan meningkatkan tingkat utang negara. Walau demikian, tingkat utang Indonesia masih dalam level yang relative aman. Sebelum wabah Covid-19 tingkat utang Indonesia adalah 30% dari PDB, dengan adanya stimulus dan efek dari Covid-19 tingkat utang diperkirakan meningkat menjadi 37%-38% dari PDB. Walau melonjak tinggi, tingkat utang Indonesia masih merupakan salah satu yang paling rendah. Sebagai gambaran, IMF memperkirakan tingkat utang kawasan Emerging Asia meningkat dari 54% dari PDB menjadi 65% dari PDB.
Bank Indonesia dan Pemerintah menyepakati skema burden sharing untuk pembiayaan stimulus Covid. Apa dampak kebijakan ini bagi pasar?
Pada dasarnya skema burden sharing ini bertujuan untuk membantu pembiayaan stimulus Covid-19 pemerintah dengan membagi beban bunga utang negara dengan Bank Indonesia (BI). Ini merupakan hal yang positif karena pemerintah dapat menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) untuk pembiayaan utang dengan bunga yang lebih ringan – karena sebagian pembayaran bunga ditanggung BI – dan juga memastikan BI hadir untuk menyerap penerbitan SBN pemerintah. Kebijakan ini juga berpotensi memberi sentimen postif bagi pasar obligasi karena dapat mengurangi suplai SBN ke pasar – didukung BI yang menyerap penerbitan SBN baru - sehingga stabilitas pasar obligasi akan lebih terjaga.
Sebelumnya terdapat kekhawatiran di pasar bahwa dengan kebijakan ini berarti pemerintah bisa tanpa kendali menerbitkan utang, dan juga terdapat kekuatiran akan kapabilitas BI untuk menanggung beban utang tersebut. Namun dalam skema final yang disetujui, kekuatiran tersebut dapat ditepis karena pemerintah menyatakan kebijakan ini hanya bersifat one-off dan BI juga melakukan analisis bahwa kondisi permodalannya masih kuat untuk melakukan burden sharing. Karenanya, kebijakan burden sharing ini berpotensi untuk direspon positif di pasar.
Sejauh ini pasar obligasi menunjukkan kinerja yang resilien, apakah prospek pasar obligasi masih menarik ke depannya?
Dalam pandangan kami pasar obligasi Indonesia masih menawarkan potensi yang menarik. Pandangan ini didukung oleh beberapa faktor:
Bagaimana dengan pasar saham, kinerja IHSG saat ini underperform dibandingkan pasar saham di kawasan, apakah ada potensi bagi pasar saham?
Pada level IHSG saat ini pasar saham menawarkan potensi menarik bagi investor yang memiliki horizon investasi jangka panjang. Menurut kami pasar belum memperhitungkan (pricingin) potensi perbaikan ekonomi dan kinerja emiten di 2021. Per akhir Juni 2020 IHSG mencatatkan kinerja -22.1% year-to-date, kinerja tersebut mengindikasikan kalau pasar sudah memperhitungkan potensi pelemahan fundamental emiten tahun ini di mana konsensus pasar memperkirakan laba emiten IHSG akan mengalami kontraksi 22% di 2020. Di sisi lain, konsensus pasar memperkirakan laba emiten berpotensi membaik di 2021 dengan pertumbuhan 24%, faktor ini sepertinya belum diperhitungkan dalam level IHSG saat ini sehingga masih memberi potensi upside bagi investor. Ke depannya, kesuksesan pemerintah mengatasi pandemi selama periode ‘new normal ’ menjadi faktor penting dalam mendorong kinerja pasar saham.
Ada saran bagi investor yang masih bimbang memilih untuk berinvestasi di reksa dana saham atau obligasi?
Kebutuhan investasi dan tolerasi risiko tiap investor berbeda, dan oleh karena itu pemilihan instrumen investasi sebaiknya disesuaikan dengan profil risiko dan kebutuhan masing-masing. Seperti yang disampaikan sebelumnya, pasar saham dan obligasi Indonesia masih memiliki potensi upside yang menarik ke depannya. Yang membedakan adalah volatilitas pasarnya. Sesuai dengan karakternya dan juga iklim ekonomi yang ada saat ini, reksa dana saham akan memiliki tendensi volatilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi yang cenderung lebih stabil.
Oleh karena itu bagi investor yang mengutamakan stabilitas, reksa dana obligasi dapat menjadi pilihan, sementara bagi investor yang memiliki jangka waktu investasi panjang, mencari potensi upside lebih agresif, dan dapat mentolerir volatilitas tinggi dapat mempertimbangkan reksa dana saham sebagai pilihan.
Seeking α adalah komunikasi bulanan yang dirilis oleh PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI). Disampaikan dalam format Tanyajawab, Seeking α ditujukan untuk |
Katarina Setiawan
Katarina bergabung dengan PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) pada 1 Juli 2013. Ia memperoleh izin Wakil Manajer Investasi dari Bapepam-LK pada 30 April 1999 dengan no.: KEP-28/PM/IP/WMI/1999. Ia telah memiliki pengalaman selama lebih dari 20 tahun di industri keuangan dan pasar saham. Sebelum bergabung dengan MAMI, Katarina bekerja di Kim Eng Securities sebagai Research Director. Sebelumnya Katarina bekerja sebagai Director di IBAS Consulting, Director di Omni Nusantara dan Supervisor Consultant di Arthur Andersen & Co. Katarina menyandang gelar Master of Business Administration dari Indiana University di Bloomington, USA. |
|
PENGUNGKAPAN DAN SANGGAHAN:
Informasi di dalam dokumen ini disusun berdasarkan sumber yang dapat dipercaya oleh PT Manulife Aset Manajemen Indonesia namun PT Manulife Aset Manajemen Indonesia tidak menjamin keakuratan, kecukupan, atau kelengkapan informasi dan materi yang diberikan. Baik PT Manulife Aset Manajemen Indonesia atau afiliasinya, maupun direksi, pejabat atau pegawainya tidak bertanggung jawab atas segala konsekuensi hukum dan keuangan yang timbul, baik terhadap atau diderita oleh orang atau pihak apapun dan dengan cara apapun yang dianggap sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan atas dasar keseluruhan atau sebagian dari dokumen ini.
Dokumen ini disusun untuk tujuan pemberian informasi dan tidak dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi, nasihat professional, penawaran, penjualan atau ajakan oleh atau atas nama PT Manulife Aset Manajemen Indonesia kepada siapa pun untuk melakukan pembelian atau penjualan efek. Dokumen ini tidak memuat nasihat investasi, hukum, akuntansi, perpajakan atau pernyataan bahwa suatu investasi atau strategi sesuai atau cocok untuk kondisi Anda, atau merupakan rekomendasi personal untuk Anda. Analisa trend ekonomi di dalam dokumen ini tidak mengindikasikan hasil kinerja investasi masa depan. Dokumen dan pendapat yang disampaikan di dalam dokumen ini dibuat oleh PT Manulife Aset Manajemen Indonesia pada tanggal publikasi dokumen, dan dapat berubah sesuai dengan kondisi pasar atau lainnya. Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja masa datang. Investasi mengandung risiko, termasuk risiko berkurangnya nilai awal investasi. Dalam melakukan investasi, apabila ada keraguan, disarankan untuk berkonsultasi dengan penasihat profesional.
PT Manulife Aset Manajemen Indonesia adalah perusahaan Manajer Investasi dengan izin dari Bapepam No. Kep-07/PM/MI/1997 tertanggal 21 Agustus 1997. PT Manulife Aset Manajemen Indonesia adalah bagian dari Manulife Asset Management. Informasi selengkapnya mengenai Manulife Asset Management dapat ditemukan di www.manulifeam.com. Manulife Asset Management, Manulife, dan desain logo Manulife adalah merk terdaftar dari Manufacturers Life Insurance Company dan digunakan oleh Manulife dan afiliasinya.