Menyikapi gejolak pasar yang semakin meningkat di pekan keempat bulan ini, mari kita simak komentar Katarina Setiawan (Chief Economist & Investment Strategist), Ezra Nazula (Chief Investment Officer, Fixed Income), dan Samuel Kesuma (Senior Portfolio Manager, Equity).
KATARINA SETIAWAN - MAKROEKONOMI
Apa yang terjadi?
Penyebaran wabah COVID-19 ke berbagai negara di dunia dan penurunan drastis harga minyak dunia menyebabkan koreksi tajam terjadi di pasar finansial global. Sejak awal tahun sampai penutupan tanggal 18 Maret, IHSG telah turun 31%, sementara S&P500 dan MSCI Asia Pacific ex Japan terkoreksi 26%. Mata uang dollar AS menguat terhadap semua mata uang lain, dan rupiah tergerus 9% dari awal tahun.
Ini adalah black swan event: Suatu peristiwa tidak terduga, sangat jarang terjadi dan membawa dampak yang ekstrim. Kepanikan pasar jelas terlihat jelas pada nilai tukar Rupiah, yang mencapai all time-low, lebih rendah dari pada waktu krisis-krisis terjadi di masa lalu. Ini tentu bukan merupakan nilai wajar rupiah, dan setelah kondisi menjadi lebih stabil, rupiah akan berangsur menguat.
Kebijakan mitigasi apa yang dilakukan?
Wabah COVID-19 dan turunnya harga minyak dunia menyebabkan ekspektasi terjadi resesi global. Untuk itu, bank sentral dan pemerintah di berbagai negara meluncurkan stimulus moneter dan fiskal dalam jumlah sangat besar. The Fed melakukan emergency cut sebesar 50 basis points pada tanggal 4 Maret, dilanjutkan dengan pemotongan sebesar 100 basis points pada tanggal 16 Maret, sehingga suku bunga acuan menjadi 0,00%-0,25%. Selain itu The Fed juga melakukan quantitative easing sebesar minimum USD700 miliar. Ini adalah stimulus yang sangat besar dari The Fed, dan kami yakin akan dilanjutkan dengan langkah-langka lain seperti yield curve steepening dan pembelian commercial papers untuk mendukung likuiditas. Langkah ini diambil, karena tampaknya The Fed memperkirakan akan terjadi pelambatan pertumbuhan yang dalam, tetapi dalam waktu singkat. Saat in The Fed belum mempertimbangkan kebijkaan suku bunga negatif.
Bank Indonesia (BI) juga baru saja memangkas lagi suku bunga sebesar 25 basis points hari ini. Kami perkirakan pemangkasan suku bunga masih akan dilakukan lagi ke depannya. BI juga memotong giro wajib minimum untuk meningkatkan likuiditas. Stimulus fiskal juga dilakukan oleh pemerintah, termasuk pembebasan pajak penghasilan (PPh21) untuk karyawan di 19 industri, penangguhan pembayaran pajak penghasilan bagi perusahaan umum (PPh 25) dan bagi perusahaan bergerak di kegiatan impor (PPh 22). Stimulus terakhir lebih ditargetkan ke populasi masyarakat berpendapatan menengah, menambah kategori masyarakat yang dibantu dari yang sebelumnya kebanyakan berfokus pada populasi berpendapatan rendah. Sedangkan penangguhan PPh22 dan PPh25 akan membantu arus kas dari perusahaan di sektor-sektor yang paling terkena dampak negatif dari wabah COVID-19, seperti tekstil, farmasi, furnitur, otomotif, produk elektronik serta makanan dan minuman. Dengan melakukan penambahan stimulus, maka defisit anggaran diperkirakan melebar menjadi sekitar 2,5% dari PDB. Pendanaan untuk defisit tersebut masih terkendali.
Berapa lama anomali harga minyak dan wabah COVID-19 akan berlangsung?
Saat ini kami melihat bahwa rendahnya harga minyak tidak akan berlangsung berkelanjutan. Perang harga yang diinisiasi oleh Saudi Arabia diperkirakan akan mengakibatkan Rusia untuk kembali berunding. Kami terus memantau perkembangan terhadap harga minyak serta dampaknya terhadap ekonomi.
Dampak wabah virus COVID-19 terhadap perekonomian tergantung dari seberapa cepat dan efektif penanganan penyebaran virus ini. Saat ini semakin banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, menerapkan kebijakan social distancing untuk mengurangi penyebaran virus. Dengan kesadaran tinggi dari seluruh dunia dan tindakan tegas untuk meredam penyebaran virus ini, maka diharapkan wabah dapat ditangani dan jumlah kasus mulai stabil serta menurun sebelum akhir kuartal dua.
Apa yang harus dilakukan investor?
SAMUEL KESUMA - EQUITY
Bank sentral Amerika Serikat telah menurunkan suku bunganya ke level 0 – 0,25%, terendah sejak krisis finansial global tahun 2008, dan juga melakukan pembelian obligasi senilai USD700 miliar sebagai upaya menjaga likuiditas pasar. Kebijakan ini menunjukkan keseriusan dan sense of urgency yang luar biasa. Kami berharap hal ini dapat memberikan bantalan bagi pasar finansial di Amerika Serikat, dan tentunya berdampak juga pada dunia. Namun, memang ada satu hal penting lainnya yang harus terus dicermati, yaitu keberhasilan Amerika Serikat meredam penyebaran COVID-19 di negaranya itu sendiri.
Dalam situasi yang masih sangat dinamis dan berfluktuatif saat ini, masih sulit untuk menghitung seberapa dalam dan seberapa lama perlambatan ekonomi global akan terjadi. Jika kita berkaca pada China, dibutuhkan 2 bulan untuk memerangi COVID-19 sampai ke level tidak adanya kasus harian baru yang muncul. Namun jika melihat justru di belahan negara lain penyebaran COVID-19 baru mulai terjadi secara masif, kami asumsikan aktivitas ekonomi baru akan berjalan normal setidaknya di bulan Juli, dan mulai pulih secara gradual memasuki kuartal ketiga 2020. Sekali lagi, asumsi ini akan sangat tergantung pada kesiapan masing-masing negara menghadapi situasi ini.
Problem pada aktivitas ekonomi (yang akhirnya akan berdampak pada laba korporasi) saat ini telah beralih dari masalah sisi pasokan (China, sebagai salah satu rantai pasokan terpenting di dunia) ke masalah sisi permintaan (dunia, sebagai konsumen).
Di Indonesia sendiri, kami melihat beberapa sektor seperti retail dan pariwisata tentunya akan merasakan dampak yang cukup besar dari kekhawatiran masyarakat yang mengurangi aktifitas ekonomi dan menghindari tempat keramaian. Namun di sisi lain, kami melihat ada banyak industri yang secara fundamental relatif lebih sedikit terpengaruh oleh kondisi saat ini, antara lain sektor telekomunikasi, health care dan industri pokok lainnya. Indonesia yang ekspornya didominasi oleh sumber daya alam juga sebetulnya relatif diuntungkan karena China sebagai partner dagang utama telah berhasil melewati krisis virus corona ini dan saat ini hampir memulihkan seluruh aktifitas produksi di ekonominya.
Penting untuk diingat bahwa koreksi yang terjadi di bursa saham global saat ini lebih banyak didorong oleh faktor sentimen, yang disebabkan ketidakpastian akan dampak dan durasi wabah virus yang saat ini masih terus meluas. Pemerintah dan bank sentral dari negara-negara di seluruh dunia telah bereaksi cepat dengan meluncurkan program stimulus dengan skala yang cukup besar. Karena saat ini penambahan jumlah penderita virus Corona masih cukup tinggi, tekanan pada risk appetite investor di pasar cenderung bersifat psikologis sehingga stimulus ekonomi ini belum memberikan dampak signifikan pada kinerja pasar modal ataupun kepercayaan investor.
Dari portofolio reksa dana kami, porsi tunai sudah diperbesar lebih dari biasanya. Sepanjang tahun berjalan IHSG telah melemah 31% hingga 18 Maret 2020, dengan valuasi saat ini di kisaran 10 kali, menyamai level saat krisis finansial global 2008. Kami melihat fundamental ekonomi Indonesia saat ini lebih baik, didukung dengan struktur neraca emiten yang lebih solid dan tingkat hutang luar negeri yang rendah. Reaksi pemerintah dan bank sentral yang cepat dan tepat sasaran juga akan membantu ekonomi dunia menjaga momentum pertumbuhan. Jika dilihat dari horizon investasi jangka panjang, seharusnya level ini sudah sangat menarik, namun kami masih tetap berhati-hati menyusun portofolio, setidaknya sampai titik infleksi sudah mulai terlihat.
Kami melihat katalis positif terkait virus seperti berkurangnya jumlah penderita baru dan terobosan baru berupa penemuan vaksin atau perawatan yang efektif akan membantu membawa stabilitas dan mengatasi kepanikan investor di pasar dan membawa valuasi bursa saham ke level yang lebih mendekati wajar.
EZRA NAZULA - FIXED INCOME
Posisi portofolio kami saat ini sangat fluid dan dinamis terhadap acuan. Kami sangat mencermati perkembangan penyebaran COVID-19 secara global dan potensi rebound di pasar obligasi jika telah terkendali, berdasarkan beberapa pertimbangan: