Market Update Bancassurance Maret 2020

Pasar finansial global mencatatkan koreksi di tengah kekhawatiran penyebaran virus COVID-19. Bagaimana sesungguhnya dampak dari penyebaran virus terhadap ekonomi global dan domestik?

Penyebaran virus ini berpotensi untuk memberi dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi global dalam jangka pendek. Dengan adanya pabrik tutup, karantina dan berbagai usaha pencegahan penyebaran virus lain, menjadikan aktivitas ekonomi menjadi lebih terbatas. Salah satu sektor utama yang terdampak adalah sektor pariwisata dan turunannya yang terpukul oleh menurunnya jumlah turis. Namun kekhawatiran terbesar terhadap perekonomian global adalah dari disrupsi terhadap supply chain dengan ditutupnya pabrik-pabrik di China yang berperan penting dalam sistem supply chain global. Namun tentunya ekspektasi kami adalah dengan meredanya penyebaran virus maka aktivitas ekonomi akan kembali normal.

Ekonomi domestik juga diperkirakan dapat terkena imbas negatif secara jangka pendek dari efek penyebaran virus ini, walaupun dampaknya akan lebih minim. Perekonomian Indonesia sangat berorientasi domestik, sehingga dampak terhadap Indonesia akan relatif terbatas dibandingkan dengan negara–negara lain yang jauh lebih tergantung terhadap ekspor dan pariwisata. Untuk Indonesia, kontribusi net ekspor hanya sekitar 1% dari total PDB dan pariwisata menyumbang kurang dari 2% dari total PDB, jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Selain dari sektor pariwisata, sejauh ini aktivitas ekonomi di Indonesia masih berjalan normal, belum ada penutupan pabrik atau karantina besar-besaran yang membatasi aktivitas ekonomi. Sektor manufaktur Indonesia memang membutuhkan suplai barang setengah jadi dari China, namun secara keseluruhan hanya 27% sumber impor barang setengah jadi Indonesia berasal dari China dan perusahaan juga masih memiliki persediaan untuk menjalankan aktivitas produksi.

Apakah wabah virus ini akan berdampak pada outlook ekonomi jangka panjang?

Dalam pandangan kami dampak dari penyebaran virus ini masih bersifat jangka pendek dan belum berdampak pada outlook ekonomi jangka panjang. Selain dari sektor pariwisata, disrupsi pada sektor lain di ekonomi berpotensi untuk membaik ketika penyebaran virus sudah mereda. Rencana pembelian atau investasi yang tertunda karena adanya penyebaran virus akan dapat direalisasikan setelah penyebaran virus mereda, sehingga ada potensi ekonomi rebound setelah penyebaran virus tuntas. Hal inilah yang terjadi pada epidemik SARS di 2003, di mana aktivitas ekonomi rebound setelah penyebaran SARS mereda di bulan April 2003. Oleh karena itu kami berpendapat bahwa dampak negatif dari virus COVID-19 terhadap ekonomi bersifat sementara, atau short-term disruption, not destruction.

Sejauh ini kami optimis bahwa penyebaran virus ini dapat dibatasi, didukung oleh respon pemerintah global yang cepat, terkoordinasi, serta edukasi pada publik untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. Setiap epidemi selalu mengikuti tiga tahap, yaitu eskalasi (jumlah kasus meningkat tajam), stabilisasi (jumlah peningkatan kasus stabil dan mulai menurun) dan deeskalasi (jumlah kasus menurun tajam). Positifnya adalah saat ini jumlah kasus di China sudah berkurang, mengindikasikan bahwa dengan proses karantina yang efektif dan terorganisir penyebaran virus dapat dibendung.

Spesifik terkait pasar saham domestik, IHSG turun dari level 6300 di awal tahun ke level 5300-5400 dibayangi kekhawatiran virus COVID-19, apakah masih ada risiko downside lebih lanjut?

Koreksi yang terjadi menjadikan IHSG turun ke level valuasi yang sangat murah. Rasio PE IHSG turun ke level 12.8x yang merupakan -2 standar deviasi dari rata-rata 7 tahun. Secara statistik, tingkat -2 standar deviasi berarti hanya 2.3% probabilitas data mencapai level ini, mengindikasikan level yang sangat murah bagi IHSG dan langka secara historis. Terakhir kali IHSG turun ke level ini adalah di tahun 2015. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah kondisi fundamental Indonesia 2015 dengan saat ini yang berbeda. Pada waktu itu inflasi mencapai 7% mengindikasikan kenaikan harga barang yang tinggi, sementara saat ini inflasi terjaga di 2.7%. Dari sisi nilai tukar, di 2015 Rupiah sempat melemah drastis dari IDR12,800 ke hampir IDR15,000 per USD, sementara saat ini relatif stabil di kisaran IDR14,000. Jadi pelemahan IHSG yang signifikan saat ini lebih banyak dikontribusi oleh faktor fear dibandingkan fundamental. Oleh karena itu kami memandang koreksi IHSG saat ini bersifat sementara dan dapat menjadi peluang bagi investor jangka panjang.

Respon dari pemerintah dan bank sentral berpotensi menjadi support bagi pasar. BI telah melakukan pemangkasan suku bunga acuan dan GWM untuk mendukung likuiditas sistem finansial. Sementara itu pemerintah telah mengeluarkan paket stimulus fiskal IDR10 triliun untuk mendukung sektor yang terdampak seperti pariwisata, penerbangan, dan perumahan. Menurut kami kebijakan ini hanya langkah awal, dan masih ada potensi kebijakan stimulus lebih lanjut dari pemerintah dan bank sentral yang dapat menopang confidence pasar.

Dengan adanya wabah COVID-19 bagaimana target IHSG anda tahun ini? Apakah ada revisi dari target yang dicanangkan di awal tahun?

Di awal tahun ini kami menargetkan IHSG dapat mencapai level 7050 – 7100 yang didasari akan ekspektasi pertumbuhan earnings emiten-emiten sebesar 10%. Target tersebut dicanangkan dengan asumsi kondisi global yang lebih kondusif dengan tensi dagang mereda dan perbaikan ekonomi global secara bertahap. Namun tentunya penyebaran virus ini merupakan black swan event yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi global, walau besarannya tentu saja tergantung pada seberapa luas dan lamanya penyebaran virus ini. Di sisi lain, perlu dicermati pula bagaimana respon kebijakan dari negara-negara di dunia ini baik dalam bentuk stimulus fiskal maupun moneter. Hal tersebut menjadi penting, karena stimulus-stimulus tersebut bukan saja diharapkan mampu menjadi buffer dampak negatif virus terhadap perekonomian dunia, melainkan juga mampu mengembalikan sentimen investor terhadap riskier asset yang belakangan mengalami kepanikan. Oleh karena itu, kami akan terus melakukan pemantauan terhadap perkembangan 2 faktor di atas dan dampaknya terhadap earnings outlook emiten sebelummerevisi target IHSG.

Apa yang dapat menjadi katalis bagi pasar saham Indonesia ke depannya?

Selain dari meredanya penyebaran virus, omnibus law berpotensi menjadi katalis bagi pasar Indonesia. Secara struktur ekonomi Indonesia memerlukan sumber pertumbuhan ekonomi baru dan tidak bisa lagi mengandalkan sektor komoditas yang volatil. Menarik investasi asing merupakan salah satu solusi untuk Indonesia yang dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru dengan menciptakan lapangan kerja baru dan menyerap tenaga kerja yang banyak. Omnibus law dipandang sebagai kebijakan yang diperlukan untuk mereformasi sektor tenaga kerja dan perpajakan Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara Asia lain menarik investasi ke Indonesia.

Menurut kami saat ini pasar masih terfokus pada virus COVID-19 dan belum seluruhnya price-in potensi dari omnibus law ini. Terlebih beberapa kejadian global akhir-akhir ini seperti perang dagang, dan penyebaran virus, menguatkan argumen bahwa perusahaan multinasional harus lebih mendiversifikasi basis produksinya agar tidak terpapar pada kondisi geopolitik suatu negara. Ini akan mendorong perusahaan untuk mendiversifikasi basis produksi di luar China dan dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan kesempatan ini dengan menyelesaikan omnibus law.

Apa saran anda bagi investor di tengah kondisi pasar saat ini?

Belajar dari historis, ini bukan kali pertama kita melihat koreksi tajam seperti yang terjadi saat ini. Dan belajar dari historis pulalah, kita melihat koreksi tajam biasanya juga diikuti recovery yang cepat, selama fundamental makro ekonomi tetap solid. Seperti yang disampaikan sebelumnya, koreksi IHSG kali ini kami yakini lebih didorong oleh faktor non-fundamental karena sampai dengan saat ini, kami belum melihat adanya indikasi earnings perusahaan-perusahaan akan anjlok sebesar lebih dari 10% di tahun 2020 ini akibat penyebaran virus. Dalam jangka pendek, volatilitas di pasar masih dapat terjadi mengingat penyebaran virus ini cukup mengejutkan semua pihak. Namun kami tetap meyakini bahwa pada akhirnya harga saham akan kembali ke nilai fundamentalnya. Oleh karena itu pasar yang sedang koreksi saat ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk masuk ke pasar secara bertahap.

 

 

Seeking α adalah komunikasi bulanan yang dirilis oleh PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI). Disampaikan dalam format Tanya-jawab, Seeking α ditujukan untuk menyajikan pandangan para ahli investasi MAMI yang berorientasi ke depan, langsung ke hadapan Anda, para investor profesional MAMI.
Bulan ini kami mengetengahkan komentar pasar terkini dari Portfolio Manager, Andrian Tanuwijaya.

Andrian Tanuwijaya
Portfolio Manager

 

Setelah mengawali kariernya sebagai Equity Analyst di sebuah perusahaan sekuritas pada 2011, Andrian bergabung dengan PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, di mana is mulai sebagai Equity Analyst hingga kini menjabat sebagai Portfolio Manager. Andrian telah mengantongi izin Wakil Manajer Investasi dari Otoritas Jasa Keuangan sejak 2012. Saat masih menjadi mahasiswa di Universitas Surabaya, ia terpilih mewakili Indonesia dalam 4th Annual CFA – Global Investment Research Challenge di Manila, Filipina. Andrian memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di bidang Manajemen Keuangan dari Universitas Surabaya.

 

 

 

PENGUNGKAPAN DAN SANGGAHAN:

Informasi di dalam dokumen ini disusun berdasarkan sumber yang dapat dipercaya oleh PT Manulife Aset Manajemen Indonesia namun PT Manulife Aset Manajemen Indonesia tidak menjamin keakuratan, kecukupan, atau kelengkapan informasi dan materi yang diberikan. Baik PT Manulife Aset Manajemen Indonesia atau afiliasinya, maupun direksi, pejabat atau pegawainya tidak bertanggung jawab atas segala konsekuensi hukum dan keuangan yang timbul, baik terhadap atau diderita oleh orang atau pihak apapun dan dengan cara apapun yang dianggap sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan atas dasar keseluruhan atau sebagian dari dokumen ini.

Dokumen ini disusun untuk tujuan pemberian informasi dan tidak dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi, nasihat professional, penawaran, penjualan atau ajakan oleh atau atas nama PT Manulife Aset Manajemen Indonesia kepada siapa pun untuk melakukan pembelian atau penjualan efek. Dokumen ini tidak memuat nasihat investasi, hukum, akuntansi, perpajakan atau pernyataan bahwa suatu investasi atau strategi sesuai atau cocok untuk kondisi Anda, atau merupakan rekomendasi personal untuk Anda. Analisa trend ekonomi di dalam dokumen ini tidak mengindikasikan hasil kinerja investasi masa depan. Dokumen dan pendapat yang disampaikan di dalam dokumen ini dibuat oleh PT Manulife Aset Manajemen Indonesia pada tanggal publikasi dokumen, dan dapat berubah sesuai dengan kondisi pasar atau lainnya. Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja masa datang. Investasi mengandung risiko, termasuk risiko berkurangnya nilai awal investasi. Dalam melakukan investasi, apabila ada keraguan, disarankan untuk berkonsultasi dengan penasihat profesional.

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia adalah perusahaan Manajer Investasi dengan izin dari Bapepam No. Kep-07/PM/MI/1997 tertanggal 21 Agustus 1997. PT Manulife Aset Manajemen Indonesia adalah bagian dari Manulife Asset Management. Informasi selengkapnya mengenai Manulife Asset Management dapat ditemukan di www.manulifeam.com. Manulife Asset Management, Manulife, dan desain logo Manulife adalah merk terdaftar dari Manufacturers Life Insurance Company dan digunakan oleh Manulife dan afiliasinya.