Pertumbuhan ekonomi di Indonesia menunjukkan tren positif. Jika tahun 2017 lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada pada angka 5,04 persen, maka di tahun 2018 ini pertumbuhan Indonesia diprediksi akan mengalami kenaikan hingga 5,27 persen. Prediksi tersebut disampaikan oleh Anton Hendranata, Chief Economist Danamon, dalam media workshop economic outlook 2018 yang diselenggarakan pada Januari lalu. Dalam kesempatan itu, Anton menyebut peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah secara besar-besaran.
“Kita sudah melakukan transformasi dari pemerintah, yaitu pembangun infrastruktur yang sangat serius dan konsisten. Jika momentum ini dijaga, ada harapan di 2018 perekonomian (Indonesia) membaik hingga 5,27%,” ungkapnya. Keseriusan Indonesia dalam membangun infrastruktur, menurut Anton, merupakan langkah awal yang sangat baik bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepan. Pasalnya, dengan infrastruktur yang besar dan memadai, peluang Indonesia dalam menarik para investor semakin terbuka lebar.
Anton menambahkan, salah satu faktor utama yang menjadi pertimbangan para investor ketika ingin berinvestasi di suatu negara adalah ketersediaan infrastrukturnya. Jika infrastruktur tidak memadai, maka kecil kemungkinan investor akan berinvestasi. Kalau pun iya, investasi yang dilakukan tidak akan dalam jumlah yang besar. “Waktu Raja Salman ke sini (Indonesia), Arab Saudi investasi di Indonesia hanya sepersepuluh dari China,” katanya. Menurut hemat Anton, hal itu terjadi karena nyatanya infrastruktur China saat ini jauh lebih maju jika dibandingkan dengan Indonesia. Indonesia dan Arab Saudi yang memiliki kesamaan dalam hal agama mayoritas penduduknya juga ternyata tidak banyak membantu. Apalagi ketika berbicara soal uang, agama tidak jadi soal. “Yang namanya investor tidak ada masalah SARA. Yang terpenting make money (menghasilkan uang) atau nggak. Kalau mentingin SARA, harusnya Arab Saudi lebih banyak investasi ke Indonesia,” tutur Anton.Oleh karena itulah, Anton berpendapat langkah pemerintah Jokowi dalam meningkatkan dan membangun infrastruktur merupakan langkah yang sangat tepat. Terlebih jika mengaca pada negara maju seperti Amerika Serikat dan China, infrastruktur memang menjadi hal utama yang harus ditingkatkan.
Lebih lanjut, meskipun nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terprediksi turun pada tahun 2018 ini, Anton tetap optimis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami peningkatan. Kenaikan inflasi yang diprediksi Anton akan meningkat dari 3,61% menjadi 3,64%, menurutnya juga tidak akan berakibat fatal bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selain itu, Anton juga menyebut bahwa suku bunga Bank Indonesia diperkirakan akan tetap stabil diangka 4,25%. Suku bunga tersebut dipercaya Anton akan tetap bertahan selama AS tidak menaikkan suku bunganya secara agresif. Apabila AS menaikkan suku buka secara agresif, maka akan menyebabkan terjadi inflasi tinggi di Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin melemah.
---
Sektor Ritel Akan Picu Kredit 2018 Tumbuh Dua Digit
PT Bank Danamon Tbk memprediksikan bahwa sektor ritel akan memicu pertumbuhan kredit 2018 sekitar 10 hingga 11 persen, atau sebesar dua digit. Hal ini disampaikan oleh Anton Hendranata dalam paparannya pada media workshop yang berlangsung di Menari Bank Danamon pada 31 Januari lalu. Pertumbuhan kredit tahun ini, menurut Anton, dapat tumbuh salah satunya akibat potensi peningkatan peredaran uang terkait momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018. Anton menilai, terus bertambahnya penduduk Indonesia juga membuat sektor ritel berhasil tetap menarik perhatian. “(selain sektor ritel) transportasi dan komunikasi juga masih menarik,” ungkap Anton.
Berdasarkan data yang diberikan oleh Danamon, proyeksi pertumbuhan kredit tahun ini hanya mencapai angka 7,5 hingga 7,8 persen. Hal ini disebabkan oleh suku bunga Bank Indonesia (BI) yang sudah berada dikisaran angka 4,25 persen belum diikuti oleh permintaan kredit. “kemudian non performing loan (rasio kredit bermasalah) sudah mendekati angkat tiga persen tahun lalu. Biasanya perbankan akan sangat berhati-hati,” katanya. Lebih rinci Anton menjelaskan bahwa rasio kredit bermasalah terus naik sejak tahun 2012 lalu. Jika pada tahun 2012 lalu rasio kredit bermasalah masih berada dalam level 1,9 persen, tahun 2017 naik menjadi 2,9 persen.
Untuk menekan angka kenaikan rasio kredit bermasalah pada tahun 2018 ini, Anton menyarankan agar perbankan menghindari sektor komoditas. Sektor komoitas yang tahun lalu memiliki rasio cukup tinggi, menurut Anton wajib untuk diperhatikan agar rasio kredit bermasalah tahun ini tetap terjaga.